Pada awalnya, untuk
menyebut suatu lembaga, kelompok, atau organisasi yang aktif mengupayakan
pemberdayaan masyarakat dan pembangunan, terutama pada lapisan masyarakat
bawah, dikenal istilah Non-Goverment Organization (NGO).
Istilah ini umum dipakai oleh organisasi-organisasi yang bernaung di bawah Perserikatan
Bangsa-bangsa (PBB). Dalam suatu konferensi yang diadakan oleh Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia (WALHI) pada 1976, istilah NGO kemudian diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia menjadi Organisasi Non-Pemerintah (ORNOP).
Penulis merasa
kurang sreg dengan terjemahan itu. Ada dua alasan yang
mendasari penulis. Pertama, pengertian organisasi non-pemerintah
dapat meliputi berbagai organisasi yang luas, baik itu organisasi bisnis, pers,
paguyuban seni, olahraga, dan lain-lain. Padahal, istilah NGO dimaksudkan bagi
kegiatan-kegiatan yang lebih khusus, yang berhubungan langsung dengan pembangunan. Kedua,
dalam sejarah pergerakan bangsa kita dikenal istilah “non” dan “ko”. Pada masa
pendudukan Belanda, kelompok masyarakat yang bekerjasama dengan Belanda disebut
“golongan ko” dan kelompok yang menolak bekerjasama disebut “golongan non”. Dengan
demikian, istilah ORNOP dapat berkonotasi sebagai organisasi yang tidak mau
bekerjasama dengan pemerintah. Tentu saja hal ini tidak benar, sebab demi
mewujudkan keberdayaan dan kemandirian masyarakat, kelompok, lembaga, atau
organisasi itu perlu bekerjasama dengan pemerintah.
Kemudian, untuk
mencari istilah yang lebih tepat sebagai pengganti ORNOP, penulis merujuk pada
istilah yang sering dipakai oleh Kementerian Kerjasama Pembangunan Jerman
(Barat) yaitu Self-Help Promoting Institute (SHPI) dan Self-Help
Organization (SHO). Istilah yang pertama digunakan untuk menyebut
lembaga yang didirikan dengan tujuan menolong lembaga lain, sedangkan yang
kedua dimaksudkan untuk menolong diri sendiri. Penulis merasa istilah ini cocok
untuk Indonesia. Tetapi, atas saran Prof Dr Sajogyo kemudian diperkenalkan
istilah Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat (LPSM) sebagai pengganti SHPI
dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai pengganti SHO.
Kedua istilah ini
sempat muncul dalam suatu lokakarya yang bertopik “Kerjasama Terpadu untuk
Pengembangan Kedesaan” yang diselenggarakan oleh Sekretariat Bina Desa (SBD)
pada 13-15 April 1978 di Ungaran, Jawa Tengah. Istilah LPSM pada saat itu diartikan
sebagai “Lembaga Pembina Swadaya Masyarakat”, dan dimaksudkan untuk menyebut
lembaga, organisasi, panitia, paguyuban, baik formal maupun informal, yang
terkait dalam komunikasi kerjasama Sekretariat Bina Desa. Kemudian, dalam.satu seminar
yang diselenggarakan bersama oleh SBD dan WALHI di Gedung YTKI, Jakarta, pada
1981 disepakati satu istilah saja yang dipakai agar mudah dipahami oleh
masyarakat, yakni LSM. Seminar ini antara lain dimaksudkan untuk memberi
masukan bagi Perwakilan Rakyat (DPR) yang saat itu sedang membahas rancangan
undang-undang lingkungan hidup.
Rancangan undang-undang
yang kemudian disahkan menjadi undang-undang itu, yakni Undang-undang No. 4
tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup,
benar-benar memakai istilah LSM. Pada pasal 19 dikemukakan bahwa LSM berperan
dalam pengelolaan lingkungan hidup. Yang dimaksud LSM di adalah: a). kelompok
profesi, yang berdasarkan profesinya tergerak menangani masalah lingkungan; b).
kelompok hobi, yang mencintai kehidupan alam dan terdorong untuk
melestarikannya; c). kelompok minat, yang berminat untuk berbuat sesuatu bagi
pengembangan lingkungan hidup.
Istilah LSM kemudian
didefinisikan lebih tegas dalam Instruksi Dalam Negeri (Inmendagri) No. 8/1990,
yang ditujukan kepada para gubernur di seluruh Indonesia tentang Pembinaan
Lembaga Swadaya Masyarakat. Lampiran II dari Inmendagri ini menyebutkan bahwa
LSM adalah organisasi/lembaga yang anggotanya adalah masyarakat warganegara
Republik Indonesia yang secara sukarela atau kehendak sendiri berniat serta
bergerak di bidang kegiatan tertentu yang ditetapkan oleh organisasi/lembaga
sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan
kesejahteraan masyarakat, yang menitikberatkan kepada pengabdian secara
swadaya.
Dalam Pilot Proyek
Hubungan Bank dan Kelompok Swadaya Masyarakat (PPHBK), istilah LSM mencakup
pengertian Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat dan Kelompok Swadaya
Masyarakat (KSM). Dengan demikian dapat disimpulkan, ragam LSM mencakup dua
kategori, yakni KSM dan LPSM. Selain itu, ada kategori ketiga yang disebut LSM
Jaringan, yaitu suatu bentuk kelembagaan kerjasama antar-LSM dalam bidang
kegiatan atau minat tertentu. LSM Jaringan itu antara lain:
- Sekretariat Bina Desa, berdiri pada 1974,
merupakan forum LSM yang bekerj a di bidang perdesaan.
- WALHI, berdiri pada 1976, merupakan wadah
kebersamaan LSM yang memusatkan perhatian pada upaya pelestarian
lingkungan hidup.
- Forum Indonesia untuk Keswadayaan Penduduk
(FISKA), berdiri pada 1983, merupakan forum LSM yang bergerak di bidang
kependudukan.
- Forum Kerjasama Pengembangan Koperasi (FORMASI),
berdiri 1986, merupakan forum LSM yang bekerja untuk mengembangkan
koperasi.
- Forum Pengembangan Kemitraan (Partnershipin
Development Forum, PDF), berdiri pada 1991, merupakan peningkatan dari
Forum Kerjasama LSM-PBB (NGO-UN Cooperation Forum) yang didirikan pada
1988. PDF menggabungkan berbagai LSM dalam satu forum untuk menjalin
interaksi dengan pemerintah, dunia usaha, dan badan-badan internasional
demi mengembangkan kemitraan berbagai aktor pembangunan.
Tujuan utama dari LPSM
adalah memperkuat dan membantu KSM untuk mencapai kemandirian yang lebih
tinggi, sedangkan tujuan utama dari KSM adalah mewujudkan kemandirian
masyarakat, khususnya di bidang keuangan. LSM yang menjadi kelompok binaan dari
LPSM di Indonesia, misalnya, Kelompok Dana Sehat (merupakan kelompok binaan
dari Yayasan Indonesia Sejahtera), Credit Union (CU) atau
Koperasi Kredit (merupakan kelompok binaan dari Badan Koordinasi Koperasi Kredit
Indonesia, BK3I), kelompok-kelompok prakoperasi (merupakan kelompok binaan dari
Biro Bimbingan Usaha Kooperatif, BBUK), kelompok-kelompok pengrajin (merupakan
kelompok binaan dari Yayasan Perhimpunan Kerajinan Rakyat Indonesia, PEKERTI),
dan Kelompok Usaha Bersama atau Kelompok Swadaya Masyarakat (merupakan kelompok
binaan dari Bina Swadaya).
Dengan demikian,
istilah LPSM digunakan untuk menampung pengertian atau fungsi “pengembangan” (promoting)
dan “dukungan” (supporting) bagi organisasi, panitia, paguyuban yang
secara langsung mendampingi masyarakat. Lembaga-lembaga yang secara tidak langsung
mendampingi masyarakat, seperti lembaga studi, lembaga penelitian, lembaga
penerbitan tidak tercakup dalam pengertian LPSM. Meski demikian, dalam
perkembangannya, perbedaan itu tidak lagi terlalu dipermasalahkan. Lembaga
Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES). yang menerbitkan
majalah Prisma, misalnya, merupakan salah satu LPSM yang terkemuka
di Indonesia saat ini. Untuk memudahkan pemahaman kita, selanjutnya penulis
hanya akan menggunakan istilah LSM .
Pada umumnya, dorongan
utama didirikan LSM adalah munculnya kemiskinan dan keterbelakangan dalam
lingkup lokal, serta munculnya kesadaran untuk turut menanggulanginya. LSM
biasanya dimulai dengan organisasi yang sederhana dan lingkup kegiatannya
diperkirakan merupakan jawaban atas masalah kemiskinan dan keterbelakangan yang
ada, melalui kegiatan tertentu sebagai entry point. Bidang kegiatan
yang misalnya, pendidikan, kesehatan, kewanitaan, kepemudaan, kerajinan,
simpan-pinjam, atau peningkatan pendapatan. Dalam perkembangannya, seiring
kebutuhan dan tuntutan yang juga bertambah, terjadi perluasan kegiatan. Ketika
skala usaha relatif kecil, sifat pendekatannya fleksibel. Pendekatan yang
fleksibel ini memungkinkan kegiatan-kegiatan yang bersifat inovasi dan
perintisan (pioneering) dijalankan.
Kebanyakan LSM dimulai
dari “kepedulian” seseorang atau beberapa orang. Mereka kemudian meyakinkan
lebih banyak lagi orang dalam wilayah atau lingkup pergaulan keagaman atau
“ideologi” tertentu. Kelompok orang ini lantas menjadi a group of concern.
Kelompok ini bekerja bahu-membahu dengan semangat tinggi. Status dan bentuk
kelompok tidak begitu dipersoalkan. Yang lebih dipentingkan adalah keefektifan
kerja, semangat berkorban, dan kerjasama. Hidup matinya kelompok sangat
bergantung pada kemampuan pemimpin/pengambil prakarsa dalam memelihara dan
mengarahkan satuan tugas yang sudah dirancang dalam bentuk kegiatan nyata.
Pemimpin menjadi pusat dari kehidupan, karena itu hubungan antara pemimpin dan
anggota bersifat paternalistik sekaligus kolegalitas.
Sifat hubungan antara
pemimpin dan anggota satuan tugas, pada awal perkembangan, merupakan bentuk
yang luwes, karena berbagai hambatan berupa prosedur, sistem, dan mekanisme
kerja yang terperinci belum diperlukan. Tetapi, tidak lama setelah itu,
terlebih kalau kehadiran a group of concern tadi diterima dan
dihargai oleh masyarakat, maka satuan gugus tugas harus segera bebenah diri dan
mulai merencanakan kegiatan secara lebih baik, menyusun organisasi, mengadakan
pembagian kerja, menetapkan prosedur dan mekanisme kerja, mengembangkan staf,
dan menentukan status serta bentuk organisasi.
Bila suatu LSM
menjadikan dirinya sebagai badan hukum, maka umumnya dipilih bentuk yayasan
(seperti Bina Swadaya). Ada juga yang berbentuk asosiasi (seperti LP3ES). Kalau
LSM bersangkutan berada dalam suatu struktur organisasi yang lebih besar,
misalnya gereja, organisasi wanita, organisasi pemuda, maka ia bisanya
merupakan sambungan dari organisasi di atasnya.
Karena pada umumnya
LSM berskala kecil, maka agar mampu melayani kebutuhan-kebutuhan masyarakat
yang ada, perlu mengadakan kerjasama dengan LSM-LSM lain. LSM juga dituntut
untuk mengembangkan organisasi dan manajemen secara terus-menerus sehingga
mampu mendampingi masyarakat dengan lebih efektif. Kerjasama antar-LSM menjadi
sarana yang baik untuk mengembangkan wawasan dan kepemimpinan di kalangan LSM.
Kerjasama itu juga dapat nmengurangi kemungkinan timbulnya ketegangan di antara
LSM. Keberhasilan dalam mengatasi ketegangan ini akan menjadikan LSM
berdayaguna. Sebaliknya, kegagalan dalam mengatasi ketegangan berpotensi
memojokkan LSM ke dalam hasil kegiatan atau pekerjaan yang sepotong-sepotong;
atau timbulnya citra LSM sebagai lembaga dengan nafsu atau keinginan besar
tetapi bertenaga kecil.
Dalam kaitan ini,
adalah bijaksana bila tiap LSM mencari dan menemukan kekhususan bidang
kegiatannya di dalam masyarakat, sambil mencari bentuk-bentuk kerjasama dengan
LSM sejenis. Makin luas bidang kegiatan LSM makin perlu kegiatan yang spesifik,
sedangkan makin sempit bidang kerja LSM makin besar LSM itu diharapkan bekerja
secara lebih komprehensif.
sumber:
Disarikan dari buku: Pemberdayaan Orang
Miskin, Penulis: Bambang Ismawan, Hal: 1-7.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar